BAB 1
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Sastra adalah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan
manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (Najid,
2003:7). Sastra adalah institusi sosial yang menggunakan medium bahasa (Wellek
& Warren dalam Najid, 2003:9). Karya sastra sebagai hasil kreasi pengarang
(Aminuddin, 1995:49).
Genre sastra atau jenis sastra dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok
yaitu sastra imajinatif dan nonimajinatif. Dalam praktiknya sastra
nonimajinatif terdiri atas karya-karya yang berbentuk esei, kritik, biografi,
otobiografi, dan sejarah. Yang termasuk sastra imajinatif ialah karya prosa fiksi (cerpen, novelet, novel atau roman), puisi (puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik), dan drama (drama komedi, drama tragedi, melodrama, dan drama tragikomedi), (Najid, 2003:12). Setiap novel pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat sebagai pembacanya.
otobiografi, dan sejarah. Yang termasuk sastra imajinatif ialah karya prosa fiksi (cerpen, novelet, novel atau roman), puisi (puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik), dan drama (drama komedi, drama tragedi, melodrama, dan drama tragikomedi), (Najid, 2003:12). Setiap novel pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat sebagai pembacanya.
Stilistika berasal dari Bahasa Inggris yaitu “Style” yang berarti gaya
dan dari bahasa serapan “linguistik” yang berarti tata bahasa. Stilistika
menurut kamus Bahasa Indonesia yaitu Ilmu Kebahasaan yang mempelajari gaya
bahasa. Stilistika juga berarti sebagai studi tentang cara pengarang dalam
menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan dari
kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk itu yang dijadikan sasaran kajian
hanya pada wujud penggunaan sistem tandanya.
Walaupun fokusnya hanya pada wujud sistem tanda untuk memperoleh
pemahaman tentang ciri penggunaan sistem tanda bila dihubungkan dengan cara
pengarang dalam menyampaikan gagasan pengkaji perlu juga memahami gambaran
obyek atau peristiwa, gagasan, ideologi yang terkandung dalam karya sastra.
Wawasan tentang Stilistika sebagai kajian yang menyikapi bahasa dalam
teks sastra sebagai kode estetik dengan kajian stilistik yang menyikapi bahasa
dalam teks sastra sebagaimana bahasa menjadi objek kajian linguistik. Sedangkan
menurut Rene Wellek dan Austin Warren,
Stilistika perhatian utamanya adalah kontras sistem bahasa pada zamannya.
Penelitian penggunaan bahasa yang terdapat dalam kaya sastra. Studi ini
umumnya masuk kedalam dua bidang kajian yakni linguistik dan sastra. Dalam
penelitian ini akan diteliti mengenai gaya bahasa yang terkandung dalam novel Belenggu karya Armijn Pane, ditinjau dari kajian stilistika. Penelitian ini
ditinjau dari kajian stilistika yang berkaitan dengan gaya yang meliputi
konsep-konsep tentang pilihan leksikal seperti pengunaan mengenai ungkapan dan
majas (Nurgiyantoro dalam Sarjiyanto, 2004:8).
- Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka Permasalahan yang mendasari penelitian
ini adalah:
1) Bagaimana wujud penggunaan gaya bahasa
dalam novel Belenggu karya Armijn
Pane?”
- Tujuan Penelitian
Menganalisis wujud penggunaan gaya bahasa dalam novel Belenggu dengan
mendeskripksikan fakta berupa kutipan dan mengidentifikasi gaya bahasa yang sesuai.
- Manfaat Penelitian
Secara teoritis, makalah ini mempunyai manfaat untuk pengembangan ilmu
sastra di Indonesia, khususnya dalam bidang karya sastra yang berbentuk prosa
panjang atau novel, terutama di dalam teori sastra khususnya stilistika.
Sedangkan, manfaat secara praktis adalah Menambah wawasan tentang stilistika
berkaitan dengan analisis novel Belenggu agar lebih memahaminya dan
membantu masyarakat khususnya penikmat nuvel lebih kritis menanggapi
novel-novel Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
- Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah pengungkapan ide, gagasan, pikiran-pikiran seorang
penulis yang meliputi hierarki kebahasaan yaitu kata, frasa, klausa, bahkan
wacana untuk menghadapi situasi tertentu (Rahayu, 2005:11).
Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas
citraan, pola rima, matra yang digunakan sastrawan atau yang terdapat dalam
karya sastra. Jadi majas merupakan bagian dari gaya bahasa (Sudjiman dalam
Fillaili, 2007:14). Majas merupakan peristiwa pemakaian kata yang melewati
batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harfiah (Sudjiman
dalam Fillaili, 2007:13). Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi
karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati pengarang (Slamet Mujana
dalam Pradopo dalam Sowikromo, 2007:7).
Gaya bahasa yang dimaksud adalah gaya bahasa yang mencakup diksi atau
pilihan leksikal, struktur kalimat, majas citraan, pola rima, matra yang
digunakan sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra. Jadi majas merupakan
bagian dari gaya bahasa (Sudjiman dalam Fillaili, 2007:14).
Gaya bahasa sebagai gejala penggunaan sistem tanda , dapat dipahami bahwa
gaya bahasa pada dasarnya memiliki sejumlah matra hubungan. Matra hubungan
tersebut dapat dikaitkan dengan dunia proses kreatif pengarang, dunia luar yang
dijadikan obyek dan bahan penciptaan, fakta yang terkait dengan aspek internal
kebahasaan itu sendiri, dan dunia penafsiran penanggapnya (Aminuddin, 1995:54).
Stilistika berkaitan dengan gaya (style). Gaya dalam kaitan ini tentu
saja mengacu pada pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya sastra.
Stilistika merupakan kajian terhadap wujud performansi kebahasaan khususnya
dalam karya sastra. Analisis stilistika dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu
yang pada umumnya pada dunia kasastraan untuk menerangkan hubungan antara
bahasa dengan fungsi artistik dari maknanya (Wellek & Warren dalam
Sarjiyanto, 2004:8).
Stilistika kesusastraan merupakan metode analisis karya sastra.
Stilistika meliputi konsep-konsep tentang pilihan leksikal seperti pengunaan
bahasa daerah, bahasa asing, mengenai ungkapan dan majas (Nurgiyantoro dalam
Sarjiyanto, 2004:8). Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi dengan
arti memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek yang
ditimbulkan oleh penggunaannya itu (Sudjiman dalam Sarjiyanto, 2004:10). Jadi
stilistika adalah kajian terhadap karya sastra yang berpusat pada pemakaian
bahasa.
Sesuai dengan pengertian stilistika sebagai studi tentang cara pengarang
dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan,
dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk karya sastra itu yang dijadikan
sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan sistem tandanya (Aminuddin,
1995:46).
Teori stilistika berkaitan gaya yang meliputi konsep-konsep tentang
pilihan leksikal seperti pengunaan bahasa daerah, bahasa asing, mengenai
ungkapan dan majas (Nurgiyantoro dalam Sarjiyanto, 2004:8).
Hubungan antara novel dengan teori stilistika sangat erat, maksudnya stilistika sebagai studi menggunakan
sistem tanda (di dalamnya gaya bahasa merupakan gejala penggunaan sistem tanda
tersebut) berpusat pada fakta yang terkait dengan aspek internal kebahasaan itu
sendiri (pemakaian bahasa yang dilihat dalam novel).
.
- Sinopsis Novel Belenggu
Dokter Sukartono dengan
seorang perempuan berparas ayu, pintar, serta lincah. Perempuan itu bernama
Sumartini atau panggilannya Tini. Sebenarnya Dokter Sukartono atau Tono tidak
mencintai Sumartini. Demikian pula sebaliknya, Tini juga tidak mencintai Dokter
Sukartono.
Mereka berdua menikah dengan alasan masing-masing. Dokter Sukartono
menikahi Sumartini karena kecantian, kecerdasan, serta mendampinginya sebagai
seorang dokter adalah Sumartini. Sedangkan Sumartini menikahi Dokter Sukartono
karena hendak melupakan masa silamnya. Menurutnya dengan menikahi seorang
dokter, maka besar kemungkinan bagi dirinya untuk melupakan masa lalunya yang
kelam. Jadi, keduanya tidak saling mencintai.
Karena keduanya tidak saling mencintai, mereka tidak pernah akur. Mereka
tidak saling berbicara dan saling bertukar pikiran. Masalah yang mereka hadapi
tidak pernah dipecahkan bersama-sama sebagaimana layaknya suami istri.
Masing-masing memecahkan masalahnya sendiri-sendiri. Itulah sebabnya keluarga
mereka tampak hambar dan tidak harmonis. Mereka sering salah paham dan suka
bertengakar.
Ketidakharmonisan keluarga mereka semakin menjadi karena Dokter Sukartono
sangat mencintai dan bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaannya. Dia bekerja
tanpa kenal waktu. Jam berapa saja ada pasien yang membutuhkannya, dia dengan
sigap berusaha membantunya. Akibatnya, dia melupakan kehidupan rumah tangganya
sendiri. Dai sering meninggalkannya istrinya sendirian dirumah. Ida betul-betul
tidak mempunyai waktu lagi bagi istrinya, Tini.
Dokter Sukartono sangat dicintai oleh pasiennya. Dia tidak hanya suka
menolong kapan pun pasien yang membutuhkan pertolongan, tetapi ia juga ridak
meminta bayaran kepada pasien yang tak mampu. Itulah sebabnya, dia dikenal
sebagi dokter yang sangat dermawan. Kesibukan Dokter Sukartono yang tak kenal
waktu tersebut semakin memicu percekcokan dalam rumah tangga. Menurut
Suamrtini, Dokter Sukartono sangat egois. Sumartini merasa telah disepelekan
dan merasa bosan karena selalu ditinggalkan suaminya yang selalu sibuk menolong
pasien-pasiennya. Dia merasa dirinya telah dilupakan dan merasa bahwa
derajatnya sebagai seorang perempuan telah diinjak-injak sebagai seorang istri.
Karena suaminya tidak mampu memenuhi hak sebagai seorang istri. Karena suaminya
tidak mampu memenuhi hak tersebut, maka Sumartini sering bertengkat. Hampir
setiap hari mereka bertengkat. Masing-masing tidak mau mengalah dan merasa
paling benar.
Suatu hari Dokter Sukartono mendapat panggilan dari seorang wanita yang
mengaku dirinya sedang sakit keras. Wanita itu meminta Dokter Sukartono datang
kehotel tempat dia menginap. Dokter Sukartono pun datang ke hotel tersebut.
Setibanya dihotel, dia merasa terkejut sebab pasien yang memanggilnya adalah
Yah atau Rohayah, wanita yang telah dikenalnya sejak kecil. Sewaktu masih
bersekolah di Sekolah Rakyat, Yah adalah teman sekelasnya.
Pada saat itu Yah sudah menjadi janda. Dia korban kawin paksa. Karena
tidak tahan hidup dengan suami pilihan orang tuanya, dia melarikan diri ke
Jakarta dia terjun kedunia nista dan menjadi wanita panggilan. Yah sebenarnya
secara diam-diam sudah lama mencintai Dokter Sukartono. Dia sering menghayalkan
Dokter Suartono sebagai suaminya. Itulah sebabnya, dia mencari alamat Dokter
Sukartono. Setelah menemukannya, dia menghubungi Dokter Sukartono dengan
berpura-pura sakit.
Karena sangat merindukan Dokter Sukartono, pada saat itu juga, Yah
menggodanya. Dia sangat mahir dalam hal merayu laki-laki karena pekerjaan
itulah yang dilakukannya selama di Jakarta. Pada awalanya Dokter Sukartono
tidak tergoda akan rayuannya, namun karena Yah sering meminta dia untuk
mengobatinya, lama kelamaan Dokter Sukartono mulai tergoda akan rayuannya,
namun karena Yah sering meminta dia untuk mengobatinya, lama-kelamaan Dokter
Sukartono mulai tergoda. Yah dapat memberikan banyak kasih sayang yang sangat
dibutuhkan oleh Dokter Sukartono yang selama ini tidak diperoleh dari istrinya.
Karena Dokter Sukartono tidak pernah merasakan ketentraman dan selalu
bertengkar dengan istrinya, dia sering mengunjungi Yah. Dia mulai merasakan
hotel tempat Yah menginap sebagai rumahnya yang kedua. Lama-kelamaan hubungan
Yah dengan Tono diketahui oleh Sumartini. Betapa panas hatinya ketika mengethui
hubungan gelap suaminya dengan wanita bernama Yah. Dia ingin melabrak wanita
tersebut. Secara diam-diam Sumartini pergi kehotel tempat Yah menginap. Dia
berniat hendak memaki Yah sebab telah mengambil dan dan menggangu suaminya.
Akan tetapi, setelah bertatap muka dengan Yah, perasaan dendamnya menjadi
luluh. Kebencian dan nafsu amarahnya tiba-tiba lenyap. Yah yang sebelumnya
dianggap sebagai wanita jalang, ternyata merupakan seorang wanita yang lembut
dan ramah. Tini merasa malu pada Yah. Dia merasa bahwa selama ini dia bersalah
pada suaminya. Dia tidak dapat berlaku seperti Yah yang sangat didambakan oleh
suaminya.
Sepulang dari pertemuan dengan Yah, Tini mulai berintropeksi terhadap
dirinya. Dia merasa malu dan bersalah kepada suaminya. Dia merasa dirinya belum
pernah memberi kasih sayang yang tulus pada suaminya. Selama ini dia selalu
kasar pada suaminya. Dia merasa telah gagal menjadi Istri. Akhirnya, dia
mutuskan untuk berpisah dengan Suaminya. Permintaan tersebut dengan berat hati
dipenuhi oleh Dokter Sukartono. Bagaimanapun, dia tidak mengharapkan terjadinya
perceraian. Dokter Sukartono meminta maaf pada istrinya dan berjanji untuk
mengubah sikapnya. Namun, keputusan istrinya sudah bulat. Dokter Sukartono tak
mampu menahannya. Akhirnya mereka bercerai.
Betapa sedih hati Dokter Sukartono akibat perceraian tersebut. Hatinya
bertambah sedih saat Yah juga pergi. Yah hanya meninggalkan sepucuk surat yang
mengabarkan jika dia mencintai Dokter Sukartono. Dia akan meninggalkan tanah
air selama-lamanya dan pergi ke Calidonia. Dokter Sukartono merasa sedih dalam
kesendiriannya. Sumartini telah pergi ke Surabaya. Dia mengabdi pada sebuah
panti asuhan yatim piatu, sedangkan Yah pergi ke negeri Calidonia.
- Analisis Stilistika pada Novel Belenggu Karya Armijn Pane
Dalam novel Belenggu ini,
peneliti akan melakukan analisis novel yaitu tentang ”penggunaan bahasa”,
sehingga memperlihatkan isi dan kesatuan karya dari unsur-unsurnya. Konsep
teori yang secara spesifik digunakan dalam melakukan penelitian ini terangkum
dalam gaya bahasanya.
Dalam novel Belenggu karya
Armijn Pane ini, setelah diselidiki ternyata merupakan penggunaan bahasa
Indonesia modern yang pertama kali dipakai. Dan hal ini yang menyebabkan Belenggu, sedikit susah dipahami oleh
pembaca saat ini. Walaupun tidak sesulit seperti membaca novel-novel angkatan
sebelumnya atau angkatan Balai Pustaka. Penggunaan bahasa di novel ini. merujuk
pada penggunaan bahasa yang fungsional dan penggunaan bahasa yang terdapat
bahasa kiasan didalamnya, antara lain sebagai berikut:
1) Penggunaan Bahasa yang Fungsional
Penggunaan bahasa yang fungsional, pengarang paparkan dengan memasukkan
unsur matematika dalam novel ini. Unsur itu digunakan untuk mengadakan
percakapan. Kutipannya sebagai beriktu;
“Tono dalam ilmu wiskunde-tinggi kerap dipakai bilangan “e”, mengapa bukan yang lain? Bilangan “e”,
ingat lagi bilangan “e”, = ……, bilangan
(1+1/n)” (Belenggu, 2006: 102)
Selain itu pengarang juga menggunakan tanda baca titik dua untuk
memisahkan keterangan kalimat langsung dengan kalimat langsung yang
mengikutinya. Bahkan penggunaan tanda baca ini ditemukan hampir diseluruh
bagian novel. Ini merupakan salah satu gaya bahasa yang fungsional. Berikut
adalah kutipannya:
·
“Kalimatnya diteruskannya dengan: “………sekelas itu hendak keluar?” (Belenggu, 2006: 27)
·
“Sumartini tertawa mengejek: “Katakanlah yang tersimpul dalam hatimu.” (Belenggu,
2006: 59)
·
“Kata Hartono dengan lemas: “Lain dahulu, lain sekarang.” (Belenggu, 2006: 105)
Catatan kaki juga digunakan oleh Armijn Pane pada novel ini. Hal ini
ditemukan pada kata yang mengadung unsur bahasa Jawa, seperti yang ditemukan
pada halaman 17 dan 69. Berikut kutipannya:
“Karno, kemana tadi ndoromu?”
Ndoro = tuan
(Belenggu, 2006: 17)
“Tini membaca surat Tati sekali lagi, hendak menulis jawabannya. Yu”
Yu = kakanda perempuan
(Belenggu, 2006: 69)
2) Penggunaan Bahasa Kias
Novel Belenggu menggunakan
bahasa sebagai media. Menarik tidaknya bahasa yang digunakan dalam karya sastra
tergantung pada kecakapan pengarang dalam menggunakan atau melilih kata-kata
yang ada dalam teks satra. Kehalusan perasaan pengarang dalam menggunakan
kata-kata sangat diperlukan, agar teks satranya mendapat nilai lebih dari segi
penggunaan bahasa. Bahasa kias merupakan penggantian kata yang satu dengan kata
yang lain berdasarkan perbandingan ataupun analogi ciri semantis yang umum
dengan umum,yang umum dengan yang khusus ataupun yang khusus dengan yang
khusus. Perbandingan ataupun analogi tersebut berlaku secara proporsional,
dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang
dipindahkan dalam menggambarkan citraan maupun gagasan baru. Dan majas adalah
bahasa kiasan yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan
konotasi tertentu. Majas dapat dimanfaatkan oleh pengarang untuk menjelaskan gagasan.
Majas menyebabkan karya sastra menjadi menarik perhatian, menimbulkan
kesegaran, lebih hidup, dan menimbulkan pengimajian pada saat membaca karya
sastra tersebut.
3) Penggunaan Gaya Bahasa
Berikuat adalah beberapa penggunaan bahasa kias atau majas dalam novel Belenggu;
a) Majas Simile
Majas simile yaitu majas yang mengungkapkan dengan perbandingan eksplisit
yang dinyatakan dengan kata depan atau penghubung. Majas ini berfungsi sebagai
pembanding dua hal dengan memanfaatkan kata penghubung tertentu. Berikut adalah
kutipannya;
“Di dalam pikiran dokter Sukartono seolah-olah ada yang memberatkan, yang menjadikan hatinya tawar”
(Belenggu, 2006: 15)
“Perempuan tambun, tegap sikapnya, dikepalanya
seolah-olah kembang melati putih” (Belenggu, 2006: 15)
“… perhatiannya seolah-olah
meraba-raba dalam pikirannya” (Belenggu, 2006: 18)
b) Majas Personifikasi
Majas personifikasi adalah majas yang pengungkapannya dengan menyampaikan
benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia. Majas ini berfungsi untuk
menggambarkan benda mati seolah-olah mempunyai sifat atau kemampuan seperti
manusia. Berikut adalah kutipan penggunaan majas dalam teks:
“… cahaya tanda girang yang
mengerlip dalam mata perempuan itu” (Belenggu, 2006: 20)
“… hatinya hendak membacanya, hendak membaca olokannya” (Belenggu,
2006: 31)
c) Majas Hiperbola
Majas hiperbola yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal dengan
berlebihan juga. Majas ini digunakan untuk memberikan gambaran tentang sesuatu
sehingga mampu memberikan efek yang lebih mendalam. Dalam novel ini, majas
hiperbola digunakan untuk mempertegas pengungkapan dari tokoh dan penegasan
tentang suatu perwatakan dari tokoh. Kutipannya sebagai berikut;
“Air mata yang membendung hatiku
telah mengalir…tidakkah engkau ingat Rohayah?” (Belenggu, 2006: 48)
”Tini gunung berapi yang banyak
tingkah.” (Belenggu, 2006: 67)
”Kedua belah tangannya memegang stir mobilnya dengan keras, badannya
membungkuk, mobil melancar, kerusuhan
jiwanya seolah-olah mengalir ke roda mobil, memutar roda biar cepat secepatnya.”
(Belenggu, 2006: 73)
d) Majas Metafora
Majas metafora adalah majas perbandingan hanya tidak menggunakan
kata-kata pembanding. Metafora dalam novel ini berfungsi untuk membandingkan
dua hal secara singkat dan mampu menggambarkan apa yang sedang terjadi atau
mampu menggambarkan apa yang dibandingkan itu. Seperti kutipan ini;
”Kartono melihat sikap tini menggerendeng pula, seolah-olah harimau tertangkap, maka hatinya makin tenang. Hariamu
ini mesti ditundukkan!” (Belenggu, 2006: 59)
“Jujur katamu? Kejujuran bohong. Bidadari
ialah setan, setan ialah bidadari… engkau, siapakah engkau?” (Belenggu,
2006: 121)
e) Majas Ironi
Majas ironi adalah majas sindiran yang melukiskan sesuatu dengan
menyatakan sebaliknya dari apa yang sebenarnya dengan maksud untuk menyindir
orang. Dan majas ironi berfungsi sebagai penggunjingan tergadap tokoh tertentu.
Majas ironi terdapat dalam kutipan berikut ini:
“Mengapa?” tanya Mardani.
“Bukan tingkahnya hendak menarik
mata laki-laki saja?”
Mardani tersenyum, merasa puteri Kartini cemburu. Katanya, hendak
berolok-olok: “Ah bukanlah salahnya kalau
mata laki-laki tertarik. Memang sudah dasarnya…….”
“Itulah yang tiada baik itu, sudah dasarnya!”
(Belenggu, 2006: 83)
f) Majas Sinestasia
Majas sinestasia adalah majas metafora yang berupa ungkapan yang
berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain. Majas ini
berfungsi penghubung dua indra itu seperti punya kesamaan sifat. Berikut adalah
kutipannya;
“ Malam sedap, enak makan angin
naik mobil” (Belenggu, 2006: 25)
“ Sukartono senyum masam sama
saja” (Belenggu, 2006: 25)
g) Majas Repetisi
Majas repetisi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan
mengulang kata atau beberapa kata. Repetisi pada novel ini biasanya digunakan
pada saat percakapan. Fungsi majas repetisi pada novel ini adalah untuk
menegaskan apa yang disampaikan tokoh pada lawan bicaranya. Seperti kutipan
berikut ini;
“Kartono bangun berdiri karena heran: “Rohayah, Rohayah!” katanya berulang-ulang seolah-olah menghafalkan
nama negeri, hendak mengingatkan barang apa yang sudah dipelajarinya tentang
negeri itu. “Engkau Rohayah? Rohayah kawanku dahulu?” (Belenggu, 2006: 48)
h) Majas Alegori
Majas alegori digunakan pengarang untuk menggambarkan tokoh dengan
beberapa kiasan atau ungkapan. Majas alegori terdapat pada kutipan berikut ini:
”Kalau Yah tiada tahu namanya, kalau tiada disengajanya memangilnya,
adakah Yah akan mengenal dia, kalau tiba-tiba bersua ditengah jalan? Yah
mengenal dia karena sudah maklum lebih dahulu. Yah, tiada yang gelap, tiada yang tersembunyi, ialah pemandangan
luas, disinari matahari, pemandangan lepas, tiada teralang oleh barang sesuatu
juga. Tini gelap, pintu jiwanya tertutup, dikuncinya, kesimpulan pikiran yang
hidup tersembunyi dalam dirinya. Tini gunung berapi yang banyak tingkah!”
(Belenggu, 2006: 67)
i) Majas Tautologi
Majas tautologi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan
mempergunakan kata-kata yang sama artinya (bersinonim) untuk mempertegas arti.
Tautologi digunakan untuk mempertegas sesuatu hal apa yang diungkapkan oleh
tokoh. Tetapi sebenarnya fungsinya malah kurang memperjelas maksudnya. Berikut
kutipannya:
”Di beranda muka hotel sudah lama nyonya Eni berjalan hilir mudik dengan gelisah.” (Belenggu, 2006: 26)
j) Majas Sarkasme
Majas sarkasme adalah majas sindiran yang terkasar serta lengsung menusuk
perasaan. Majas ini ditemukan dalam percakapan saat konflik terjadi. Fungsi
majas ini dalam novel ini adalah untuk menjelekkan tokoh lain yang sedang
mengalami konflik dengan tokoh tersebut. Atau juga penggunaan sarkasme adalah
untuk menjelekkan diri sendiri. Berikut adalah kutipannya;
“Aku bukan terlalu kolot.”
(Belenggu, 2006: 53)
“Eh, sebagai barang simpanan,
berbedak dan berpakaian bersih-bersih, sekali setahun dijemur diluar.”
(Belenggu, 2006: 53)
k) Majas Alonim
Armijn Pane juga menggunakan majas alonim yaitu penggunaan varian-varian
dari nama untuk menegaskan sesuatu. Berikut adalah kutipannya;
“Jangan pandang dari luar saja, dik
Ti; pandanglah lebih dalam. Ingatlah lagi pigura di kamar kita dahulu di
Bandung?” (Belenggu, 2006: 69)
l) Majas Antonomasia
Antonomasia adalah majas yang menggunakan nama diri atau gelar untuk
menggantikan nama diri. Majas ini dipakai di novel ini karena salah satu
tokohnya mempunyai profesi sebagai seorang dokter. seperti kutipan berikut ini;
Nyonya Eni tertawa: “Duduklah dokter…” Iapun duduk juga. “Tuan dokter, dokter aneh.” (Belenggu,
2006: 27)
m) Majas Alusio
Majas Alusio adalah majas perbandingan dengan mempergunakan ungkapan
pribahasa, atau kata-kata yang artinya diketahui umum. Berikut kutipannya:
”Tono tersenyum memberungut, seperti baru
makan asam, karena dia teringat akan tukang biola di waktu bazaar,
sepertinya tua, tiada pernah dismer. Tidak tidak! Tidak! (Belenggu, 2006: 104)
n) Majas Retoris
Majas retoris adalah majas penegasan dengan mempergunakan kalimat tanya
yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban karena sudah diketahui. Penggunaan
retoris diharapkan mampu memberikan penegasan apa yang dirasakan atau sedang
dibimbangkan oleh tokoh. Berikut adalah kutipannya:
”Yang manakah? Tono kehilangan
pengaharapan? Kehilangan cita-cita? Kehilangan kepercayaan? Entahlah.”
(Belenggu, 2006: 74)
o) Majas Aptronim
Novel Belenggu juga terdapat
majas aptronim yang berfungsi sebagai penyebutan seseorang dengan sifat yang
dimiliki. Berikut kutipannya:
“Sangkamu engkau yang menang, Tini
si Girang itu engkau tundukkan. Apa lagi kehendakmu? Aku sudah menjadi
isterimu.” (Belenggu, 2006: 61)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari analisis yang
dilakukan peneliti, dapat ditarik kesimpulan yaitu, Belenggu karya Armijn Pane,
merupakan novel yang penggunaan bahasanya memperlihatkan isi dan kesatuan karya
dari unsur-unsur cerita. Dan penggunaan bahasa yang fungsional dan bahasa kias,
menjadikan novel ini sarat akan pesan dan amanat yang tersirat dalam bahasanya.
Selain itu terdapat pula pengalaman-pengalaman didalamnya, yang akan memberi
dampak bagi kejiwaan seseorang dan dapat sebagai bahan pembelajaran bagi
pembaca karya sastra ini, membaca roman Belenggu
ini akan melahirkan sebuah opini, bahwa apabila sebuah kehidupan rumah tangga
yang lahir dibangun dari tiadanya rasa saling cinta antara suami-istri, maka
keluarga tersebut tidak harmonis dan bahkan bisa terjadi perceraian. Hal inilah
yang ditakutkan dalam kehidupan sesorang, manakala membangun rumah tangga tanpa
didasari cinta antara suami isteri. Karena tidak saling mencintai, mereka tidak
pernah akur, tidak saling berbicara dan bertukar pikiran. Masalah yang mereka
hadapi tidak pernah dipecahkan bersama-sama sebagaimana layaknya suami istri.
Masing-masing memecahkan masalahnya sendiri-sendiri, sering salah paham dan
sukar bertengkar. Itulah sebabnya, banyak dimasyarakat untuk menghidari kawin
paksa, kawin karena dijodohkan dan kawin tanpa dasar cinta. Karena kalau
perkawinan tanpa dasar cinta akan membentuk keluarga yang tidak harmonis dan
tidak bahagia. Dan orang akan menghindari hal ini sejauh-jauhnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar