Selasa, 11 Desember 2012

ANALISIS STILISTIKA NOVEL BELENGGU



BAB 1
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Sastra adalah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (Najid, 2003:7). Sastra adalah institusi sosial yang menggunakan medium bahasa (Wellek & Warren dalam Najid, 2003:9). Karya sastra sebagai hasil kreasi pengarang (Aminuddin, 1995:49).
Genre sastra atau jenis sastra dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu sastra imajinatif dan nonimajinatif. Dalam praktiknya sastra nonimajinatif terdiri atas karya-karya yang berbentuk esei, kritik, biografi,
otobiografi, dan sejarah. Yang termasuk sastra imajinatif ialah karya prosa fiksi (cerpen, novelet, novel atau roman), puisi (puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik), dan drama (drama komedi, drama tragedi, melodrama, dan drama tragikomedi), (Najid, 2003:12). Setiap novel pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat sebagai pembacanya.
Stilistika berasal dari Bahasa Inggris yaitu “Style” yang berarti gaya dan dari bahasa serapan “linguistik” yang berarti tata bahasa. Stilistika menurut kamus Bahasa Indonesia yaitu Ilmu Kebahasaan yang mempelajari gaya bahasa. Stilistika juga berarti sebagai studi tentang cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan sistem tandanya.
Walaupun fokusnya hanya pada wujud sistem tanda untuk memperoleh pemahaman tentang ciri penggunaan sistem tanda bila dihubungkan dengan cara pengarang dalam menyampaikan gagasan pengkaji perlu juga memahami gambaran obyek atau peristiwa, gagasan, ideologi yang terkandung dalam karya sastra.
Wawasan tentang Stilistika sebagai kajian yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagai kode estetik dengan kajian stilistik yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagaimana bahasa menjadi objek kajian linguistik. Sedangkan menurut Rene Wellek dan Austin Warren, Stilistika perhatian utamanya adalah kontras sistem bahasa pada zamannya.
Penelitian penggunaan bahasa yang terdapat dalam kaya sastra. Studi ini umumnya masuk kedalam dua bidang kajian yakni linguistik dan sastra. Dalam penelitian ini akan diteliti mengenai gaya bahasa yang terkandung dalam novel Belenggu karya Armijn Pane, ditinjau dari kajian stilistika. Penelitian ini ditinjau dari kajian stilistika yang berkaitan dengan gaya yang meliputi konsep-konsep tentang pilihan leksikal seperti pengunaan mengenai ungkapan dan majas (Nurgiyantoro dalam Sarjiyanto, 2004:8).

  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,  maka Permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah:
1)      Bagaimana wujud penggunaan gaya bahasa dalam novel Belenggu karya Armijn Pane?”
  1.  Tujuan Penelitian
Menganalisis wujud penggunaan gaya bahasa dalam novel Belenggu  dengan mendeskripksikan fakta berupa kutipan dan mengidentifikasi gaya bahasa yang sesuai.

  1.  Manfaat Penelitian
Secara teoritis, makalah ini mempunyai manfaat untuk pengembangan ilmu sastra di Indonesia, khususnya dalam bidang karya sastra yang berbentuk prosa panjang atau novel, terutama di dalam teori sastra khususnya stilistika. Sedangkan, manfaat secara praktis adalah Menambah wawasan tentang stilistika berkaitan dengan analisis novel Belenggu agar lebih memahaminya dan membantu masyarakat khususnya penikmat nuvel lebih kritis menanggapi novel-novel Indonesia.











BAB II
PEMBAHASAN
  1. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah pengungkapan ide, gagasan, pikiran-pikiran seorang penulis yang meliputi hierarki kebahasaan yaitu kata, frasa, klausa, bahkan wacana untuk menghadapi situasi tertentu (Rahayu, 2005:11).
Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas citraan, pola rima, matra yang digunakan sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra. Jadi majas merupakan bagian dari gaya bahasa (Sudjiman dalam Fillaili, 2007:14). Majas merupakan peristiwa pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harfiah (Sudjiman dalam Fillaili, 2007:13). Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati pengarang (Slamet Mujana dalam Pradopo dalam Sowikromo, 2007:7).
Gaya bahasa yang dimaksud adalah gaya bahasa yang mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas citraan, pola rima, matra yang digunakan sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra. Jadi majas merupakan bagian dari gaya bahasa (Sudjiman dalam Fillaili, 2007:14).
Gaya bahasa sebagai gejala penggunaan sistem tanda , dapat dipahami bahwa gaya bahasa pada dasarnya memiliki sejumlah matra hubungan. Matra hubungan tersebut dapat dikaitkan dengan dunia proses kreatif pengarang, dunia luar yang dijadikan obyek dan bahan penciptaan, fakta yang terkait dengan aspek internal kebahasaan itu sendiri, dan dunia penafsiran penanggapnya (Aminuddin, 1995:54).
Stilistika berkaitan dengan gaya (style). Gaya dalam kaitan ini tentu saja mengacu pada pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya sastra. Stilistika merupakan kajian terhadap wujud performansi kebahasaan khususnya dalam karya sastra. Analisis stilistika dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu yang pada umumnya pada dunia kasastraan untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dari maknanya (Wellek & Warren dalam Sarjiyanto, 2004:8).
Stilistika kesusastraan merupakan metode analisis karya sastra. Stilistika meliputi konsep-konsep tentang pilihan leksikal seperti pengunaan bahasa daerah, bahasa asing, mengenai ungkapan dan majas (Nurgiyantoro dalam Sarjiyanto, 2004:8). Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi dengan arti memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu (Sudjiman dalam Sarjiyanto, 2004:10). Jadi stilistika adalah kajian terhadap karya sastra yang berpusat pada pemakaian bahasa.
Sesuai dengan pengertian stilistika sebagai studi tentang cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan, dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk karya sastra itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan sistem tandanya (Aminuddin, 1995:46).
Teori stilistika berkaitan gaya yang meliputi konsep-konsep tentang pilihan leksikal seperti pengunaan bahasa daerah, bahasa asing, mengenai ungkapan dan majas (Nurgiyantoro dalam Sarjiyanto, 2004:8).
Hubungan antara novel dengan teori stilistika sangat erat, maksudnya stilistika sebagai studi menggunakan sistem tanda (di dalamnya gaya bahasa merupakan gejala penggunaan sistem tanda tersebut) berpusat pada fakta yang terkait dengan aspek internal kebahasaan itu sendiri (pemakaian bahasa yang dilihat dalam novel).
.
  1. Sinopsis Novel Belenggu
            Dokter Sukartono dengan seorang perempuan berparas ayu, pintar, serta lincah. Perempuan itu bernama Sumartini atau panggilannya Tini. Sebenarnya Dokter Sukartono atau Tono tidak mencintai Sumartini. Demikian pula sebaliknya, Tini juga tidak mencintai Dokter Sukartono.
Mereka berdua menikah dengan alasan masing-masing. Dokter Sukartono menikahi Sumartini karena kecantian, kecerdasan, serta mendampinginya sebagai seorang dokter adalah Sumartini. Sedangkan Sumartini menikahi Dokter Sukartono karena hendak melupakan masa silamnya. Menurutnya dengan menikahi seorang dokter, maka besar kemungkinan bagi dirinya untuk melupakan masa lalunya yang kelam. Jadi, keduanya tidak saling mencintai.
Karena keduanya tidak saling mencintai, mereka tidak pernah akur. Mereka tidak saling berbicara dan saling bertukar pikiran. Masalah yang mereka hadapi tidak pernah dipecahkan bersama-sama sebagaimana layaknya suami istri. Masing-masing memecahkan masalahnya sendiri-sendiri. Itulah sebabnya keluarga mereka tampak hambar dan tidak harmonis. Mereka sering salah paham dan suka bertengakar.
Ketidakharmonisan keluarga mereka semakin menjadi karena Dokter Sukartono sangat mencintai dan bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaannya. Dia bekerja tanpa kenal waktu. Jam berapa saja ada pasien yang membutuhkannya, dia dengan sigap berusaha membantunya. Akibatnya, dia melupakan kehidupan rumah tangganya sendiri. Dai sering meninggalkannya istrinya sendirian dirumah. Ida betul-betul tidak mempunyai waktu lagi bagi istrinya, Tini.
Dokter Sukartono sangat dicintai oleh pasiennya. Dia tidak hanya suka menolong kapan pun pasien yang membutuhkan pertolongan, tetapi ia juga ridak meminta bayaran kepada pasien yang tak mampu. Itulah sebabnya, dia dikenal sebagi dokter yang sangat dermawan. Kesibukan Dokter Sukartono yang tak kenal waktu tersebut semakin memicu percekcokan dalam rumah tangga. Menurut Suamrtini, Dokter Sukartono sangat egois. Sumartini merasa telah disepelekan dan merasa bosan karena selalu ditinggalkan suaminya yang selalu sibuk menolong pasien-pasiennya. Dia merasa dirinya telah dilupakan dan merasa bahwa derajatnya sebagai seorang perempuan telah diinjak-injak sebagai seorang istri. Karena suaminya tidak mampu memenuhi hak sebagai seorang istri. Karena suaminya tidak mampu memenuhi hak tersebut, maka Sumartini sering bertengkat. Hampir setiap hari mereka bertengkat. Masing-masing tidak mau mengalah dan merasa paling benar.
Suatu hari Dokter Sukartono mendapat panggilan dari seorang wanita yang mengaku dirinya sedang sakit keras. Wanita itu meminta Dokter Sukartono datang kehotel tempat dia menginap. Dokter Sukartono pun datang ke hotel tersebut. Setibanya dihotel, dia merasa terkejut sebab pasien yang memanggilnya adalah Yah atau Rohayah, wanita yang telah dikenalnya sejak kecil. Sewaktu masih bersekolah di Sekolah Rakyat, Yah adalah teman sekelasnya.
Pada saat itu Yah sudah menjadi janda. Dia korban kawin paksa. Karena tidak tahan hidup dengan suami pilihan orang tuanya, dia melarikan diri ke Jakarta dia terjun kedunia nista dan menjadi wanita panggilan. Yah sebenarnya secara diam-diam sudah lama mencintai Dokter Sukartono. Dia sering menghayalkan Dokter Suartono sebagai suaminya. Itulah sebabnya, dia mencari alamat Dokter Sukartono. Setelah menemukannya, dia menghubungi Dokter Sukartono dengan berpura-pura sakit.
Karena sangat merindukan Dokter Sukartono, pada saat itu juga, Yah menggodanya. Dia sangat mahir dalam hal merayu laki-laki karena pekerjaan itulah yang dilakukannya selama di Jakarta. Pada awalanya Dokter Sukartono tidak tergoda akan rayuannya, namun karena Yah sering meminta dia untuk mengobatinya, lama kelamaan Dokter Sukartono mulai tergoda akan rayuannya, namun karena Yah sering meminta dia untuk mengobatinya, lama-kelamaan Dokter Sukartono mulai tergoda. Yah dapat memberikan banyak kasih sayang yang sangat dibutuhkan oleh Dokter Sukartono yang selama ini tidak diperoleh dari istrinya.
Karena Dokter Sukartono tidak pernah merasakan ketentraman dan selalu bertengkar dengan istrinya, dia sering mengunjungi Yah. Dia mulai merasakan hotel tempat Yah menginap sebagai rumahnya yang kedua. Lama-kelamaan hubungan Yah dengan Tono diketahui oleh Sumartini. Betapa panas hatinya ketika mengethui hubungan gelap suaminya dengan wanita bernama Yah. Dia ingin melabrak wanita tersebut. Secara diam-diam Sumartini pergi kehotel tempat Yah menginap. Dia berniat hendak memaki Yah sebab telah mengambil dan dan menggangu suaminya. Akan tetapi, setelah bertatap muka dengan Yah, perasaan dendamnya menjadi luluh. Kebencian dan nafsu amarahnya tiba-tiba lenyap. Yah yang sebelumnya dianggap sebagai wanita jalang, ternyata merupakan seorang wanita yang lembut dan ramah. Tini merasa malu pada Yah. Dia merasa bahwa selama ini dia bersalah pada suaminya. Dia tidak dapat berlaku seperti Yah yang sangat didambakan oleh suaminya.
Sepulang dari pertemuan dengan Yah, Tini mulai berintropeksi terhadap dirinya. Dia merasa malu dan bersalah kepada suaminya. Dia merasa dirinya belum pernah memberi kasih sayang yang tulus pada suaminya. Selama ini dia selalu kasar pada suaminya. Dia merasa telah gagal menjadi Istri. Akhirnya, dia mutuskan untuk berpisah dengan Suaminya. Permintaan tersebut dengan berat hati dipenuhi oleh Dokter Sukartono. Bagaimanapun, dia tidak mengharapkan terjadinya perceraian. Dokter Sukartono meminta maaf pada istrinya dan berjanji untuk mengubah sikapnya. Namun, keputusan istrinya sudah bulat. Dokter Sukartono tak mampu menahannya. Akhirnya mereka bercerai.
Betapa sedih hati Dokter Sukartono akibat perceraian tersebut. Hatinya bertambah sedih saat Yah juga pergi. Yah hanya meninggalkan sepucuk surat yang mengabarkan jika dia mencintai Dokter Sukartono. Dia akan meninggalkan tanah air selama-lamanya dan pergi ke Calidonia. Dokter Sukartono merasa sedih dalam kesendiriannya. Sumartini telah pergi ke Surabaya. Dia mengabdi pada sebuah panti asuhan yatim piatu, sedangkan Yah pergi ke negeri Calidonia.
  1. Analisis Stilistika pada Novel Belenggu Karya Armijn Pane
Dalam novel Belenggu ini, peneliti akan melakukan analisis novel yaitu tentang ”penggunaan bahasa”, sehingga memperlihatkan isi dan kesatuan karya dari unsur-unsurnya. Konsep teori yang secara spesifik digunakan dalam melakukan penelitian ini terangkum dalam gaya bahasanya.
Dalam novel Belenggu karya Armijn Pane ini, setelah diselidiki ternyata merupakan penggunaan bahasa Indonesia modern yang pertama kali dipakai. Dan hal ini yang menyebabkan Belenggu, sedikit susah dipahami oleh pembaca saat ini. Walaupun tidak sesulit seperti membaca novel-novel angkatan sebelumnya atau angkatan Balai Pustaka. Penggunaan bahasa di novel ini. merujuk pada penggunaan bahasa yang fungsional dan penggunaan bahasa yang terdapat bahasa kiasan didalamnya, antara lain sebagai berikut:

1)      Penggunaan Bahasa yang Fungsional
Penggunaan bahasa yang fungsional, pengarang paparkan dengan memasukkan unsur matematika dalam novel ini. Unsur itu digunakan untuk mengadakan percakapan. Kutipannya sebagai beriktu;
“Tono dalam ilmu wiskunde-tinggi kerap dipakai bilangan “e”, mengapa bukan yang lain? Bilangan “e”, ingat lagi bilangan “e”, =   ……, bilangan (1+1/n)” (Belenggu, 2006: 102)

Selain itu pengarang juga menggunakan tanda baca titik dua untuk memisahkan keterangan kalimat langsung dengan kalimat langsung yang mengikutinya. Bahkan penggunaan tanda baca ini ditemukan hampir diseluruh bagian novel. Ini merupakan salah satu gaya bahasa yang fungsional. Berikut adalah  kutipannya:
·               “Kalimatnya diteruskannya dengan: “………sekelas itu hendak keluar?” (Belenggu, 2006: 27)
·               “Sumartini tertawa mengejek: “Katakanlah yang tersimpul dalam hatimu.” (Belenggu, 2006: 59)
·               “Kata Hartono dengan lemas: “Lain dahulu, lain sekarang.” (Belenggu, 2006: 105)

Catatan kaki juga digunakan oleh Armijn Pane pada novel ini. Hal ini ditemukan pada kata yang mengadung unsur bahasa Jawa, seperti yang ditemukan pada halaman 17 dan 69. Berikut kutipannya:
“Karno, kemana tadi ndoromu?”
Ndoro = tuan
(Belenggu, 2006: 17)

“Tini membaca surat Tati sekali lagi, hendak menulis jawabannya. Yu
Yu = kakanda perempuan
 (Belenggu, 2006: 69)

2)      Penggunaan Bahasa Kias
Novel Belenggu menggunakan bahasa sebagai media. Menarik tidaknya bahasa yang digunakan dalam karya sastra tergantung pada kecakapan pengarang dalam menggunakan atau melilih kata-kata yang ada dalam teks satra. Kehalusan perasaan pengarang dalam menggunakan kata-kata sangat diperlukan, agar teks satranya mendapat nilai lebih dari segi penggunaan bahasa. Bahasa kias merupakan penggantian kata yang satu dengan kata yang lain berdasarkan perbandingan ataupun analogi ciri semantis yang umum dengan umum,yang umum dengan yang khusus ataupun yang khusus dengan yang khusus. Perbandingan ataupun analogi tersebut berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang dipindahkan dalam menggambarkan citraan maupun gagasan baru. Dan majas adalah bahasa kiasan yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Majas dapat dimanfaatkan oleh pengarang untuk menjelaskan gagasan. Majas menyebabkan karya sastra menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, lebih hidup, dan menimbulkan pengimajian pada saat membaca karya sastra tersebut.
3)      Penggunaan Gaya Bahasa

Berikuat adalah beberapa penggunaan bahasa kias atau majas dalam novel Belenggu;
a)      Majas Simile
Majas simile yaitu majas yang mengungkapkan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan atau penghubung. Majas ini berfungsi sebagai pembanding dua hal dengan memanfaatkan kata penghubung tertentu. Berikut adalah kutipannya;
“Di dalam pikiran dokter Sukartono seolah-olah ada yang memberatkan, yang menjadikan hatinya tawar” (Belenggu, 2006: 15)

“Perempuan tambun, tegap sikapnya, dikepalanya seolah-olah kembang melati putih” (Belenggu, 2006: 15)

“… perhatiannya seolah-olah meraba-raba dalam pikirannya” (Belenggu, 2006: 18)



b)     Majas Personifikasi
Majas personifikasi adalah majas yang pengungkapannya dengan menyampaikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia. Majas ini berfungsi untuk menggambarkan benda mati seolah-olah mempunyai sifat atau kemampuan seperti manusia. Berikut adalah kutipan penggunaan majas dalam teks:
“… cahaya tanda girang yang mengerlip dalam mata perempuan itu” (Belenggu, 2006: 20)

 “… hatinya hendak membacanya, hendak membaca olokannya” (Belenggu, 2006: 31)

c)      Majas Hiperbola
Majas hiperbola yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal dengan berlebihan juga. Majas ini digunakan untuk memberikan gambaran tentang sesuatu sehingga mampu memberikan efek yang lebih mendalam. Dalam novel ini, majas hiperbola digunakan untuk mempertegas pengungkapan dari tokoh dan penegasan tentang suatu perwatakan dari tokoh. Kutipannya sebagai berikut;
Air mata yang membendung hatiku telah mengalir…tidakkah engkau ingat Rohayah?” (Belenggu, 2006: 48)

”Tini gunung berapi yang banyak tingkah.” (Belenggu, 2006: 67)

”Kedua belah tangannya memegang stir mobilnya dengan keras, badannya membungkuk, mobil melancar, kerusuhan jiwanya seolah-olah mengalir ke roda mobil, memutar roda biar cepat secepatnya.” (Belenggu, 2006: 73)

d)     Majas Metafora
Majas metafora adalah majas perbandingan hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding. Metafora dalam novel ini berfungsi untuk membandingkan dua hal secara singkat dan mampu menggambarkan apa yang sedang terjadi atau mampu menggambarkan apa yang dibandingkan itu. Seperti kutipan ini;
”Kartono melihat sikap tini menggerendeng pula, seolah-olah harimau tertangkap, maka hatinya makin tenang. Hariamu ini mesti ditundukkan!” (Belenggu, 2006: 59)

“Jujur katamu? Kejujuran bohong. Bidadari ialah setan, setan ialah bidadari… engkau, siapakah engkau?” (Belenggu, 2006: 121)

e)      Majas Ironi
Majas ironi adalah majas sindiran yang melukiskan sesuatu dengan menyatakan sebaliknya dari apa yang sebenarnya dengan maksud untuk menyindir orang. Dan majas ironi berfungsi sebagai penggunjingan tergadap tokoh tertentu. Majas ironi terdapat dalam kutipan berikut ini:
“Mengapa?” tanya Mardani.
Bukan tingkahnya hendak menarik mata laki-laki saja?”
Mardani tersenyum, merasa puteri Kartini cemburu. Katanya, hendak berolok-olok: “Ah bukanlah salahnya kalau mata laki-laki tertarik. Memang sudah dasarnya…….”
“Itulah yang tiada baik itu, sudah dasarnya!”
(Belenggu, 2006: 83)


f)       Majas Sinestasia
Majas sinestasia adalah majas metafora yang berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain. Majas ini berfungsi penghubung dua indra itu seperti punya kesamaan sifat. Berikut adalah kutipannya;
“ Malam sedap, enak makan angin naik mobil” (Belenggu, 2006: 25)

“ Sukartono senyum masam sama saja” (Belenggu, 2006: 25)

g)      Majas Repetisi
Majas repetisi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mengulang kata atau beberapa kata. Repetisi pada novel ini biasanya digunakan pada saat percakapan. Fungsi majas repetisi pada novel ini adalah untuk menegaskan apa yang disampaikan tokoh pada lawan bicaranya. Seperti kutipan berikut ini;
“Kartono bangun berdiri karena heran: “Rohayah, Rohayah!” katanya berulang-ulang seolah-olah menghafalkan nama negeri, hendak mengingatkan barang apa yang sudah dipelajarinya tentang negeri itu. “Engkau Rohayah? Rohayah kawanku dahulu?” (Belenggu, 2006: 48)

h)     Majas Alegori
Majas alegori digunakan pengarang untuk menggambarkan tokoh dengan beberapa kiasan atau ungkapan. Majas alegori terdapat pada kutipan berikut ini:
”Kalau Yah tiada tahu namanya, kalau tiada disengajanya memangilnya, adakah Yah akan mengenal dia, kalau tiba-tiba bersua ditengah jalan? Yah mengenal dia karena sudah maklum lebih dahulu. Yah, tiada yang gelap, tiada yang tersembunyi, ialah pemandangan luas, disinari matahari, pemandangan lepas, tiada teralang oleh barang sesuatu juga. Tini gelap, pintu jiwanya tertutup, dikuncinya, kesimpulan pikiran yang hidup tersembunyi dalam dirinya. Tini gunung berapi yang banyak tingkah!” (Belenggu, 2006: 67)

i)        Majas Tautologi
Majas tautologi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan kata-kata yang sama artinya (bersinonim) untuk mempertegas arti. Tautologi digunakan untuk mempertegas sesuatu hal apa yang diungkapkan oleh tokoh. Tetapi sebenarnya fungsinya malah kurang memperjelas maksudnya. Berikut kutipannya:
”Di beranda muka hotel sudah lama nyonya Eni berjalan hilir mudik dengan gelisah.” (Belenggu, 2006: 26)

j)       Majas Sarkasme
Majas sarkasme adalah majas sindiran yang terkasar serta lengsung menusuk perasaan. Majas ini ditemukan dalam percakapan saat konflik terjadi. Fungsi majas ini dalam novel ini adalah untuk menjelekkan tokoh lain yang sedang mengalami konflik dengan tokoh tersebut. Atau juga penggunaan sarkasme adalah untuk menjelekkan diri sendiri. Berikut adalah kutipannya;
Aku bukan terlalu kolot.” (Belenggu, 2006: 53)

“Eh, sebagai barang simpanan, berbedak dan berpakaian bersih-bersih, sekali setahun dijemur diluar.” (Belenggu, 2006: 53)

k)     Majas Alonim
Armijn Pane juga menggunakan majas alonim yaitu penggunaan varian-varian dari nama untuk menegaskan sesuatu. Berikut adalah kutipannya;
“Jangan pandang dari luar saja, dik Ti; pandanglah lebih dalam. Ingatlah lagi pigura di kamar kita dahulu di Bandung?” (Belenggu, 2006: 69)

l)        Majas Antonomasia
Antonomasia adalah majas yang menggunakan nama diri atau gelar untuk menggantikan nama diri. Majas ini dipakai di novel ini karena salah satu tokohnya mempunyai profesi sebagai seorang dokter. seperti kutipan berikut ini;
Nyonya Eni tertawa: “Duduklah dokter…” Iapun duduk juga. “Tuan dokter, dokter aneh.” (Belenggu, 2006: 27)

m)     Majas Alusio
Majas Alusio adalah majas perbandingan dengan mempergunakan ungkapan pribahasa, atau kata-kata yang artinya diketahui umum. Berikut kutipannya:
”Tono tersenyum memberungut, seperti baru makan asam, karena dia teringat akan tukang biola di waktu bazaar, sepertinya tua, tiada pernah dismer. Tidak tidak! Tidak! (Belenggu, 2006: 104)

n)     Majas Retoris
Majas retoris adalah majas penegasan dengan mempergunakan kalimat tanya yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban karena sudah diketahui. Penggunaan retoris diharapkan mampu memberikan penegasan apa yang dirasakan atau sedang dibimbangkan oleh tokoh. Berikut adalah kutipannya:
Yang manakah? Tono kehilangan pengaharapan? Kehilangan cita-cita? Kehilangan kepercayaan? Entahlah.” (Belenggu, 2006: 74)



o)      Majas Aptronim
Novel Belenggu juga terdapat majas aptronim yang berfungsi sebagai penyebutan seseorang dengan sifat yang dimiliki. Berikut kutipannya:
“Sangkamu engkau yang menang, Tini si Girang itu engkau tundukkan. Apa lagi kehendakmu? Aku sudah menjadi isterimu.” (Belenggu, 2006: 61)






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Dari analisis yang dilakukan peneliti, dapat ditarik kesimpulan yaitu, Belenggu karya Armijn Pane, merupakan novel yang penggunaan bahasanya memperlihatkan isi dan kesatuan karya dari unsur-unsur cerita. Dan penggunaan bahasa yang fungsional dan bahasa kias, menjadikan novel ini sarat akan pesan dan amanat yang tersirat dalam bahasanya. Selain itu terdapat pula pengalaman-pengalaman didalamnya, yang akan memberi dampak bagi kejiwaan seseorang dan dapat sebagai bahan pembelajaran bagi pembaca karya sastra ini, membaca roman Belenggu ini akan melahirkan sebuah opini, bahwa apabila sebuah kehidupan rumah tangga yang lahir dibangun dari tiadanya rasa saling cinta antara suami-istri, maka keluarga tersebut tidak harmonis dan bahkan bisa terjadi perceraian. Hal inilah yang ditakutkan dalam kehidupan sesorang, manakala membangun rumah tangga tanpa didasari cinta antara suami isteri. Karena tidak saling mencintai, mereka tidak pernah akur, tidak saling berbicara dan bertukar pikiran. Masalah yang mereka hadapi tidak pernah dipecahkan bersama-sama sebagaimana layaknya suami istri. Masing-masing memecahkan masalahnya sendiri-sendiri, sering salah paham dan sukar bertengkar. Itulah sebabnya, banyak dimasyarakat untuk menghidari kawin paksa, kawin karena dijodohkan dan kawin tanpa dasar cinta. Karena kalau perkawinan tanpa dasar cinta akan membentuk keluarga yang tidak harmonis dan tidak bahagia. Dan orang akan menghindari hal ini sejauh-jauhnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar