HUBUNGAN ANTARA SYARI’AH DAN AKHLAK TASAWUF
MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH AKHLAK TASAWUF
Dosen Pengampu
: Prof. Dr. Alwan Khoeri, MA
Disusun Oleh :Akhmad Lukman Hakim (10110101 )
PRODI BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
BAB 1
PENDAHULUAN
Berbagai upaya dilakukan manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka mencari jalan yang dapat membuat mereka lebih dekat dengan Tuhan sehingga mereka merasa melihat Tuhan dengan hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan Tuhan. Ajaran- ajaran seperti ini terdapat dalam tasawuf.
Meskipun secara tekstual tidak ditemukan ketentuan agar umat islam melaksanakan tasawuf akan tetapi kegiatan tasawuf telah dilakukan boleh Nabi Muhammad Saw sebelum diangkat menjadi rosul, ia telah sering kali pergi ke Gua Hira dengan membawa sedikit perbekalan. Tujuannya disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyembahan berhala, juga untuk merenung dalam rangka mencari hakekat kebenaran yang disertai dengan melakukan banyak berpuasa dan beribadah, sehingga jiwanya menjadi lebih suci.
Amalan tersebut mewarnai kehidupan para sahabatnya. Mereka meneladani kehidupan Rosululloh dan membaktikan hidup mereka demi kepentingan agama. Bahkan diantara mereka ada yang sangat tekun beribadah an hidup zuhud. Mereka ini lebih dikenal dengan sebutan Ahl al- Shuffah. Kelompok inilah yang kemudian disebut- sebut sebagai cikal bakal munculnya kaum shufi. Bahkan ada teori yang menyatakan bahwa asal usul kata tashawuf diambil dari kata shuffah yang kemudian ditransfer kedalam bahasa Eropa, sofa. Tasawuf dan tarekat terus berkembang dan tersebar diberbagai wilayah di dunia islam, baik pada periode klasik, pertengahan maupun modern. Pada periode pertengahan, wilayah nusantara sudah ikut mengembangkan tasawuf mulai dari Aceh, Palembang, Demak, Mataram, dan lain-lain. Kemudia diwilayah Pekalongan, Jawa Tengah munculah tarekat Budiah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Rifa’i, tarekat ini berkembang sampai sekarang.
Pada dasarnya tasawuf bersifat batin. Sedangkan yang bersifat lahir adalah syari’ah. Syari’ah merupakan ajaran islam yang tersimpul dalam ibadah yang mengambil bentuk sholat, puasa, zakat, haji dan ajaran- ajaran mengenai akhlak islam. Aspek lahir (syari’ah) dan aspek batin (tasawuf) tidak dapat dipisahkan sehingga antara syari’ah dan tasawuf memiliki keterkaitan yang sangat erat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Tasawuf
Untuk menyatakan hakekat tasawuf itu sangat sulit, karena tasawuf menyangkut masalah rohani dan batin manusia yang tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, ia hanya dapat diketahui bukan pada hakekatnya, melainkan gejala-gejala yang tampak dalam upaya, cara, dan sikap kehidupan para shufi. Sekalipun demikian para shufi membuat definisi tasawuf, meski saling berbeda, sesuai dengan pengalaman empiric masing-masing dalam mengamalkan tasawuf. Menurut Ma’ruf al-Kurkhi, tasawuf ialah berpegang pada apa yang ada pada tangan manusia.
Ahmad al-Jariri ketika ditanya seseorang: Apa itu tasawuf ? Ia menjawab: Masuk ke dalam setiap akhlak yang tinggi (mulia) dan keluar dari setiap akhlak yang rendah (tercela).
Sementara Abu Ya’qub al-Susi menjelaskan bahwa sufi ialah orang yang tidak merasa sukar dengan hal-hal yang terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa nafsu.
Definisi-definisi diatas menunjukkan betapa besarnya peranan akhlak dalam tasawuf. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf itu dimaksudkan sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Alloh dengan menekankan pentingnya akhlah atau sopan santun baik kepada Allah maupun kepada makhluk. Selanjutnya definisi tasawuf itu mengalami perkembangan, hal ini terlihat dari definisi yang dikemukakan oleh Dzul al-Nun al-Mishri bahwa tasawuf adalah usaha mengalahkan segala-galanya untuk memilih Allah , sehingga Allah pun akan memilih seorang shufi dan mengalahkan segala sesuatu. Pada definisi ini, pembahasan tasawuf ini memasuki memasuki wilayah cinta Illahi yang dikenal dengan mahabbah. Shufi adalah orang yang mencintai Allah sampai mengalahkan segala-galanya. Kemudian definisi tasawuf berkembang lagi dengan datangnya shufi besar, Abu Yazid al-Busthami yang mendefinisikan tasawuf dengan sifat al-Haqiqi yalbisuha al-Kholqu (sifat Allah yang dikenakan pada hamba-Nya). Hal ini menunjukan adanya perkembangan dari Abu Yazid bin al-‘Ibrat badalan min al isyarat (mengungkapkan secara lisan akan kondisi batin atau mengungkapkan pengalaman spiritual yang sebenarnya cukup diisyaratkan).
Lebih jauh Imam al-Junaid mendefinisikan tasawuf sebagai berikut : al-atashawwuf antakuna ma’a Allah bila ‘alaqah (tasawuf adalah engkau bersama Allah tanpa hubungan). Maksudnya adalah, seorang shufi bersama Allah bukan dalam hubungan antara makhluk dan Kholik, bukan dalam hubungan antara ‘abid dan ma’bud. Menurut al-Junaid, selagi masih ada hubungan berarti masih mempertahankan eksistensi diri, masih mengakui keberadaan diri sebagai makhluk.
Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn Manshur al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309 H, karena ia mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari ucapannya : Ana Allah . . . ana Al-Haqq (aku adalah Allah . . . aku adalah Yang Maha Benar).
Di sini timbul pertanyaan : kenapa al-Hallaj sedemikian keras mempertahankan ucapannyayang melanggar syari’ah sehingga ia menerima hukuman gantung ?, padahal al-Hallaj sebagai gurunya telah memperingatkannya. Alasan al-Hallaj: “apa pun yang akan terjadi, saya tetap mempertahankan ucapan ana Allah . . . ana al-Haqq, karena saya ingin menyatu dengan Allah . gara-gara jasmani saya , saya tidak menyatu dengan Allah”.
Nampaknya, hukuman gantung tidak ditakuti oleh al-Hallaj, melainkan justru dirindukannya, karena jasad dirinya dianggap sebagai penghalang untuk segera menyatu dengan Allah.
Nampaknya, hukuman gantung tidak ditakuti oleh al-Hallaj, melainkan justru dirindukannya, karena jasad dirinya dianggap sebagai penghalang untuk segera menyatu dengan Allah.
Memperhatikan definisi-definisi tasawuf yang dikemukakan oleh Dzul al-Nun al-Mishri, Abu Yazid al-Busthami, al-Junaid, dan al-Hallaj, dapat dipahami bahwa tasawuf ini tidak lagi menekankan pada masalah akhlak, melainkan sudah membahas masalah hubungan langsung antara shufi dan Tuhan bahkan berlanjut kepada kemanunggalan antara shufi dan Tuhan.
Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf disamping sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak manusia agar jiwanya menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.
B.Maqamat dan Ahwal
Tasawuf dari suatu segi merupakan suatu ilmu. Sebagai ilmu, tasawuf mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang muslim dapat berada dekat dengan Allah sedekat- dekatnya. Untuk dapat mendekatkan diri sedekat- dekatnya kepada Allah, seorang muslim harus menempuh perjalanan panjang yang penuh duri yang dalam bahasa arab disebut dengan maqamat , yang merupakan bentuk jamak dari maqam.
Pengertian maqam menurut para ulama tasawuf berbeda-beda, namun pengertian yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Menurut al-Thusi, maqam adalah keduduka seorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah (al-‘ibadat), kesungguhan melawan hawa nafsu (al-mujahadat), latihan-latihan kerohanian (al-riyadhat), serta mengerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata hanya untuk berbakti kepada Allah (al-inqitha’ ila Allah) . Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 14 dan surat al-Shaffat ayat 164.
Di dalam beberapa literatur tasawuf, konsep maqamat sering dibandingkan penggunannya dengan konsep ahwal (bentuk jamak dari hal). At-thusi menjelaskan bahwa ahwal adalah suasana yang menyelimuti kalbu atau sesuatu yang menimpa hati seorang shufi karena ketulusannya dalam mengingat Allah. Oleh karena itu, ahwal tidak diperoleh melalui al-‘ibadat, al-mujahadat, dan al-ritadhat seperti dalam maqamat. Adapun suasana hati yang termasuk dalam kategori ahwal ini misalnya : merasa senantiasa diawasi Allah (al-muraqabat), rasa dekat dengan Allah (al-qurb), rasa cinta dengan Allah (mahabbat), rasa harap- harap cemas (al-khauf wa al-raja’), rasa rindu (al-syauq), rasa berteman (al-uns), rasa tentram (al-thuma’ninat), rasa menyaksikan Allah dengan mata hati (al-musyahadat), dan rasa yakin (al-yaqin) .
Senada dengan al-Thusi, al-Qusyairi mengatakan bahwa maqam ialah keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Allah yang dapat membawanya kepada jenis usaha dan jenis tuntutan dari berbagai kewajiban, lebih lanjut dijelaskan bahwa ahwal merupakan anugerah Allah, sedangkat maqamat merupakan hasil usaha, Ahwal adalah keadaan yang datang tanpa wujud kerja, sedangkan maqamat dihasilkan seseorang melalui kerja keras.
Dengan demikian, antara maqamat dan ahwal terdapat perbedaan yang tajam. Maqamat, demikian Sayyid Husain Nashr, termasuk kategori tindakan-tindakan yang bertingkat dan memiliki pertalian satu sama lain yang apabila telah tertransedensikan akan tetap menjadi milik yang langgeng bagi seorang shufi yang telah melampauinya. Sedangkan ahwal termasuk kategori anugerah Allah atas hati hamba-Nya dan bersifat sementara.
Kendatipuin demikian, jika diamati secara cermat kategori maqamat dan ahwal bukanlah dua kategori yang ketat, karena ada kalanya seorang penulis kitab tasawuf memasukan suatu konsep kedalam kategori maqamat, sementara penulis yang lain memasukanya kedalam kategori ahwal. Dikalangan ulama tasawuf tidak ada kesepakatan mengenai hal ini. Oleh karena itu, jumlah dan susunan maqamat berbeda bagi shufi yang satu dengan shufi yang lain. Perbedaan ini nampaknya disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman rohaniyah yang ditempuh oleh masing-masing shufi.
C.Hubungan antara Syari’ah dan Tasawuf
Menurut sebagian ulama, syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan sangat erat, karena keduanya merupakan perwujudan kesadaran ilmu yang mendalam. Syari’ah mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek lahiriyah, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengalam iman pada aspek batiniyah. Aspek lahir dan batin keduanya tidak dapat dipisahkan, sebagaimana dikatakan al-Hujwiri bahwa aspek lahir tanpa aspek batin adalah kemunafikan, sedangkan aspek batin tanpa aspek lahir adalah bid’ah.
Ungkapan diatas senada dengan pendapat-pendapat ulama lain, sebagai berikut :
Ibn ‘Ujaibat dalam kitabnya iqazh al-Himam fi Syarb al- Hikam menyebutkan : Tiada tasawufn kecuali dengan fiqh, karena hukum-hukum Allah yang zhahir tidak dapat diketahui kecuali dengan fiqh, dan tiada fiqh kecuali dengan tasawuf, karena tiada amal yang diterima kecuali disertai dengan tawajjuh (menghadap Allah) yang sebenar-benarnya, dan keduanya (tasawuf dan fiqh) tidak sah kecuali disertai dengan iman.
Imam Malik menegaskan : Barang siapa yang bertasawuf tanpa mempelajari fiqh sungguh ia berlaku zindik, dan barang siapa yang berfiqh tanpa tasawuf, maka ia menjadi fasiq, dan barang siapa yang mengamalkan keduanya, itulah orang yang ahli hakikat.
Muhammad ibn ‘Allan dalam kitab Dalil al Falihin menyebutkan : Barang siapa menghiasi lahiriyahnya denga syari’at dan mencuci kotoran batiniyahnya dengan air thariqat, maka ia dapat meancapai haqiqat (Muhammad ibn ‘Allan al-Shiddiqi al-Syafi’i, 1391 H : 33).
Imam Ali Ad-Daqqaq mengatakan,”Perlu diketahui bahwa sesungguhnya syariat itu adalah hakikat. Bahwa sesungguhnya syariat itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah SWT. Demikian juga hakikat adalah syariat untuk mengenal Allah (makrifat kepada Allah). Hakikat itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah. (Al Qusyayri : 412).
Imam Syafi’i juga mengatakan, ”Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan taqwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik?” (Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47)
Anda akan menemukan islam yang sebenarnya dalam tasawuf. Tasawuf bukanlah kumpulan orang berjenggot, bersorban, bukanlah selalu dzikir di masjid tapi selalu dzikir selama putaran waktu, dalam tasawuf anda akan menemukan cinta sejati, rindu yang tiada tara. Tasawuf bukanlah kemiskinan dan kefakiran tapi dalam tasawuf anda akan menemukan kekayaan. Tasawuf bukanlah kesyirikan justru anda akan menemukan ke-Esa-an.
Untuk menggapainya perlu guru yang betul, perlu dicari guru yang mengerti tasawuf bukan kulit luarnya tapi keseluruhan.
Dalam belajar ilmu tasawuf ada orang yang mempelajarinya secara matang sehingga benar dalam mengimplementasikannya. Dan ada juga yang tidak matang, sehingga menimbulkan citra negatif saat mengamalkannya. karena dilakukan secara membabibuta.
”Tasawwuf bagi Fiqih laksana Ruh untuk jasad”
”Mengamalkan Fiqih tanpa Tasawwuf bagai jasad tanpa Ruh”
”Sedangkan mengamalkan Tasawwuf tanpa fiqih laksana Ruh tanpa jasad
keduanya harus Integra”.
Pendat-pendapat ulama di atas sejalan dengan ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Qusyairi dan al-Ghazali. Menurut al-Qusyairi : Setiap pengalaman syari’ah yang tidak didukung dengan pengalaman hakikat, maka tidak akan diterima, dan setiap pengalaman hakikat tidak didukung dengan pengamalan syari’at, maka tidak dapat mencapai tujuan yang dikehendaki.
Al-Ghazali mengatakan : Tidak akan sampai ketingkat yang terakhir (menghadap Allah dengan benar, yaitu hakikat) kecuali setelah menyempurnakan tingkat pertamanya (memperkokoh awal perjalanan ibadah, yaitu syari’ah).
Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan (tidak dapat menembus kedalam batinnya (tujuan ibadah) kecualin setelah menyempurnakan lahirnya (syarat dan rukun ibadah).
Memperhatikan pendapat-pendapat diatas, terlihat secara jelas bahwa antara syari’ah dan tasawuf terdapat hubungan yang sangat erat, keduanya tidak dapat dipidahkan. Karena antara syari’ah dengan tasawuf saling berketerkaitan sekali.
Di sini timbul pertanyaan : mengapa para ulama memadukan antara syari’ah dan tasawuf ? padahal antara keduanya terdapat perbedaan yang tajam, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Amin yang telah disebutkan dalam pendahuluan, bahwa fuqaha sebagai ahli syari’at sangat mengutamakan amal-amal lahiriyahnya, seedangkan kaum shufi sebagai ahli haqiqat sangat mengutamakan amal-amal batiniyah.
Pada dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits mengandung ilmu lahir dan ilmu batin, demikian menurut al-Thusi, Oleh karena itu syari’ah pada umumnya juga mengandung ilmu lahir dan batin. Namun dalam perkembangan selanjutnya syari’ah yang mengandung kedua unsur baik ilmu lahir maupun ilmu batin itu mengandung semacam spesialisasinya, sehingga syari’ah lebih menekankan pada ilmu lahir, sedangkan ilmu batin dikembangkan ilmu tasawuf atau ilmu hakikat. Terjadinya perkembangan spesialisasi kedua ilmu ini berkemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya, yakni syari’ah yang mengambil bentuk fiqh cenderung menggunakan rasio dan logika dalam membahas dalil al-Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan hukum, sedangkan tasawuf cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan al-Qur’an dan al-Hadits.
Menurut pandangan al-Ghazali sejak abad ketiga hijriyah ilmu-ilmu agama islam : ilmu kalam (tauhid), ilmu fiqh dan ilmu tasawuf masing-masing berdiri, akibat dari adanya upaya spesialisasi ilmiah yang lebih rinci. Setiap disiplin ilmu kemudian menempuh jalannya masing-masing dengan prinsip dan metode sendiri-sendiri yang berakibat satu disiplin ilmu dengan yang lainnya pun menjadi berbeda obyek, metode dan sasarannya. Yang berkaitan dengan akidah tersebut ilmu kalam (ilmu Tauhud), yang berkaitan dengan tindakan lahiriyah disebut ilmu fiqh, dan yang berkaitan dengan ilmu psikis disebut ilmu jiwa (ilmu tasawuf).
Jika dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka spesialisai ilmu-ilmu agama islam sebagaimana tersebut diatas sangat menguntungkan, akan tetapi jika dilihat dari segi masyarakat islam sebagai suatu umat, maka spesialisasi tersebut cukup meresahkan dan merisaukan umat islam, karena hal tersebut dapat menyebabkan polarisasi umat. Sehingga sering terjadi perselisihan, perdebatan dan saling tuduh menuduh kafir (kafir mengkafirkan) atau saling tuduh menuduh zindik (zindik menzindikkan) dikalangan umat islam sendiri. Mereka memperselisihkan tentang mana yang benar, apakah amal lahir atau amasl bathin, dan mana yang lebih utama, apakah amal lahir ataukah amal bathin.
BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa syari’at mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tasawuf sunni, yakni tasawuf yang hanya sampai pada batas ma’rifat, karena tasawuf mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Ajaran yang menekankan aspek akhlak baik dalam hubungan antar manusia dan Tuhan maupun dalam hubungan antar sesama manusia dalam lingkungannya.
2. Ajaran diselaraskan sepenuhnya dengan pertimbangan ilmu syari’ah.
3. Ajaran tidak mengandung syathabat yang dipandang telah menyimpang dari ajaran islam menurut ulama syari’at.
4. Dalam tasawuf sunni masih terlihat secara jelas perbedaan antara ‘abid dan Ma’bud, Serta antara Kholik dan makhluk.
Dengan demikian terlihat bahwa syari’ah menolak ajaran tasawuf falsafi yang bertujuan untuk mencapai kemanunggalan antara manusia dan Tuhan baik berupa ijtihad, hulul, wahdat al-wujud maupun yang sejenisnya menurut pandangan syari’ah kemanunggalan antara manusia dan Tuhan mustahil terjadi, karena Tuhan adalah Dzat yang wajib adanya, Maha Sempurna, dan bersifat Qadim, sedangkan manusia (makhluk) adalah mungkin adanya, tidak sempurna, dan bersifat hadits. Oleh karena itu, mustahil terjadi kemanunggalan antara manusia dan Tuhan. Barangkali inilah yang menjadi landasan ulama syari’ah untuk menolak ajaran tasawuf tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi, Al-Luma, disunting oleh ‘Abd al- Halim Mahmud dan Thaha ‘Abd al-Baqi Surur, Mesir : Dar al-Kutub al-Haditsat, 1960.
Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim bin Hawazan al-Qusyairial-Naisaburi, Al-Risalat al-Qasyairiyyat fi ‘ilm al-Tashawwuf, ditahkik oleh ma’ruf Zuraiq dan Ali ‘Abd al-Hamid Balthaji, Dar al-Kairo, t.th.
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujama’ Khadimal-Haramain asy-Syarifain al-Malik Fadhn li Thiba’ah al-Mushhaf asy-Syarif, Madinah Munawwarah, 1971 (1412 H).
Harun Nasution, Filsafat dan Mistitisme, Bulan-Bintang, Jakarta, 1992.
Imam al-Ghazali, Ihya’Ulum al-Din, Juz III, Mesir : Isa Bab al-Halaby, t. Th.
http://dc351.4shared.com/doc/HaHgQXkt/preview.html
http://madtauhid.wordpress.com/2009/07/24/hubungan-tasawuf-dengan-syariat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar